Sunday, December 2, 2018

Kanibalisme PTNU Pasca UNU MADURA

Foto: Editing madurasatu 

Madurasatu.com - Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia yang lahir dari rahim tokoh-tokoh pesantren di Indonesia dan telah begitu kental mewarnai peradaban beragama, berbangsa bahkan bernegara.

Dalam menghadapi perubahan peradaban menuju revolusi industri 4.0, NU juga tidak ketinggalan dalam mengambil peran dengan menguatkan sendi-sendi perjuangannya di dunia perguruan tinggi. Hingga dibentuklah badan-badan otonomi khusus, sebagaimana yang berkembang beberapa waktu belakangan yang dikenal dengan dikuatkannya simpul perjuangan melalui Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU).

LPTNU sendiri sebenarnya sangat ideal untuk menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi dengan NU atau yang dikenal dengan perguruan tinggi berbasis nilai-nilai keaswajaan untuk meningkatkan standarisasi kualitas layanan, nilai-nilai dan bahkan alumninya. Bahkan tidak cukup dengan itu, NU juga secara intensif membuka perguruan-perguruan tinggi baru dengan nama yang standar secara nasional yang memberikan penciri khusus dan bukan hanya afiliasi yang dibagian belakang kualifikasi perguruan tingginya disematkan nama NU, dan yang mulai bermunculan adalah Universitas Nahdlatul Ulama (UNU).

Pembentukan perguruan tinggi NU yang bisa terstandari secara nasional akan sangat bermanfaat bagi NU untuk menunjukkan kepekaannya dalam menjawab tantangan jaman yang telah bergeser ke era digital yang ditandai dengan mulainya era peradaban revolusi industri 4.0. Bahkan keseriusan membenahi kualitas perguruan tinggi berbasis NU tersebut akan memiliki imbas nyata dalam menyelamatkan ummat dalam persaingan global dari pergeseran nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh NU.

Foto Editing / Madurasatu 2018

Akan tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah “Haruskah Madura, sebagai daerah cikal bakal lahirnya NU, memiliki UNU?”. Pertanyaan ini tentunya bukan tidak berdasar, karena keseriusan membangun UNU telah tampak dari sebuah papan nama untuk permohonan do’a restu atas rencana pembangunan UNU tersebut di daerah perbatasan Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Pamekasan. Padahal di Madura sendiri hampir sebagian besar perguruan tinggi yang berada di bawah pesantren berafiliasi dengan NU, baik secara formal maupun spiritual. Sehingga adakah alasan urgensi lain untuk membentuk perguruan tinggi baru yang secara khusus menyebutkan dirinya sebagai perguruan tinggi NU, bukan lagi perguruan tinggi yang berlandaskan ajaran NU.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian bersama adalah “Apakah perguruan tinggi yang telah berafiliasi dengan NU, tidak memiliki standar sebagaimana yang diharapkan oleh NU?”. Atau bahkan bisa muncul alasan lain bahwa “Perguruan Tinggi yang telah berafiliasi dengan NU di Madura, tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk menghadapi dinamika perubahan sebagaimana revolusi industri 4.0 butuhkan?”. Sehingga diambillah sebuah keputusan untuk mendirikan UNU tersendiri di Madura sebagai bentuk penguatan daya saing ummat atau secara khusus kaum Nahdliyin di Madura.

Foto / fb. @ Ach Baihaki
Tapi jika alasannya adalah tidak kunjung tercapainya standarisasi perguruan tinggi di bawah NU, maka perlu juga dipertanyakan kiprah LPTNU sebagai salah satu banom yang seharusnya bisa menjadi lembaga intermediasi potensi perguruan tinggi NU (PTNU) atau ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga inkubator PTNU. Karena jika dibiarkan, maka keberadaan perguruan tinggi NU tidak bisa maksimal memberikan sumbangsih dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan oleh stakeholders. Karena memang kebanyakan perguruan tinggi di Madura yang berafiliasi dengan NU adalah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Sehingga dalam menghadapi tantangan perubahan peradaban masih belum bisa berbuat banyak. Bahkan Mahasiswa/i yang belajar di PTKI tersebut sebenarnya telah memiliki pengetahuan agama yang baik di lingkungan pondok pesantren, sehingga secara sederhana, meskipun tidak melanjutkan perguruan tinggi telah memiliki bekal yang cukup.

Jika dianggap, bahwa PTNU tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk menghadapi perubahan dinamika perubahan peradaban. Maka sebenarnya telah ada beberapa PTNU di Madura yang telah menyajikan program studi diluar keagamaan yang nantinya diharapkan bisa memberikan alternatif dalam menyiapkan SDM yang lebih berkualitas untuk berkompetisi dalam persaingan pasar kerja. Akan tetapi apakah PTNU tersebut telah terstandarisasi sebagaimana yang dipersyaratkan, atau bahkan mau distandarisasi sebagaimana yang dipersyaratkan?. Maka inilah masalah utama yang sebenarnya harus diatasi.

Karenanya LPTNU seharusnya mempersyaratkan sejumlah kriteria tertentu, ketika ada perguruan tinggi yang ingin didirikan dan ingin bergabung dalam pembinaan LPTNU. Karena diakui atau tidak, kebanyakan input mahasiswa PTNU di Madura berasal dari alumni pendidikan menengah yang berafiliasi dengan pondok pesantren dimana PTNU itu juga berafiliasi. Oleh sebab itu, sebenarnya telah terjadi persaingan yang cukup ketat dalam proses penjaringan mahasiswa baru antar PTNU di Madura. Karena biasanya akan lebih mudah ditemukan, terutama pesantren yang belum begitu besar dan telah memiliki perguruan tinggi untuk menggiring alumni sekolah menengahnya untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Perguruan tinggi yang berada di lingkungan pesantren itu sendiri, walau sebenarnya jurusan tersebut tidak terlalu menjadi minat atau bahkan kebutuhan mahasiswa/i yang menuntuk ilmu di program studi tersebut. Karena memang sikap santri di Madura yang cenderung sami’na wa ato’na (Siap melaksanakan titah).

Maka dengan adanya UNU tersendiri di Madura akan memancing sebuah dinamika problematika peta PTNU di Madura. Karena, masyarakat akan mempertanyakan, “manakah yang lebih NU, UNU atau PTNU yang rata-rata telah bernaung di bawah pondok pesantren?”. Karena itu akan menjadi sebuah boomerang, dimana calon mahasiswa akan dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Memilih program studi yang disajikan oleh UNU yang lebih mampu menjawab tantangan perubahan peradaban akan menghilangkan potensi bertahannya PTNU yang sudah ada. Karena pasti muncul pertanyaan selanjutnya “dari manakah sumber mahasiswa/ i?”, karena kebiasaan masyarakat Madura menyekolahkan anaknya dengan alasan yang paling mendasar adalah “mengharapkan barokah”. Maka jika terjadi ada perguruan tinggi dengan label NU secara eksplisit, lalu “manakah yang paling NU dan memberikan barokah?”.

Sehingga jika hal tersebut terjadi, maka perlu alat analisis yang lebih pragmatis dan cenderung tekhnis, dimana sebagai perbandingan adalah Malang yang telah lebih dulu memiliki Univeritas Islam Malang (UNISMA) yang telah berafiliasi dengan NU sejak awal berdirinya. Bahkan beberapa saat belakangan ini UNISMA telah menancapkan salah satu slogannya dengan “Dari NU untuk Indonesia dan peradaban dunia”. Maka kenapa di Malang tidak sekalian dibentuk UNU baru?, padahal di Malang potensi mahasiswa barunya jauh lebih besar dibandingkan dengan di Madura.

Hal ini yang kemudian menjadi bahan pertimbangan adalah “Apakah UNISMA telah mampu merepsentasikan wajah NU dalam dunia perguruan tingginya?”. Atau sangat mungkin “UNISMA telah cukup menjadi salah satu percontohan kampus NU yang sukses dengan segala prestasinya”. Sehingga dengan beberapa analogi tersebut, tidak perlu lagi dibentuk PTNU tersendiri.

Jika analogi terakhir tepat untuk menyampaikan alasan kegelisahan urgensi pembentukan UNU di Madura, maka perlu adanya peningkatan kualitas dari PTNU di Madura. Sehingga kredibilitas PTNU di Madura bisa menjadi kebanggaan NU secara struktural dan bahkan bisa menjadi cikal bakal percontohan daerah dengan PTNU yang membanggakan. Tapi, jika hal itu tidak dilakukan, maka disadari atau tidak, adanya UNU akan menjadi boomerang dan akan saling mematikan antar PTNU di Madura. Sehingga peran LPTNU sebagai banom yang mengurusi koordinasi antar PTNU harus lebih dimaksimalkan dengan standarisasi yang lebih jelas. Sehingga sebelum satu sama lain PTNU saling mengeliminasi, maka bisa diselamatkan dengan peningkatan kualitas yang nantinya bisa membentuk pola piker masyarakat yang lebih logis dalam memilih perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan tingginya.

Wallahu a’lam bisshowab


Oleh:
Ach. Baihaki, SE., M.Sc
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Madura

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home